Kamis, 15 September 2016
Selasa, 13 September 2016
Surat di Bawah Bantal (2)
“Setelah sekian lama, tiba-tiba aku merasa ingin
menulis surat lagi.
Dulu sekali, aku sering menulis banyak surat untuk
banyak orang. Aku mulai menulis surat semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar.
Kala itu, semua murid diminta menulis surat yang dilayangkan kepada wali kelas
kami. Penulisan surat untuk wali kelas itu menjadi awal mula karirku sebagai
penulis surat ulung. Aku tak pernah bosan menulis surat dari waktu ke waktu.
Aku saling berkirim surat dengan beberapa sahabat, dengan
kertas bergambar tokoh-tokoh kartun di tepinya. Aku mengirim surat untuk orang
tuaku, yang kuberikan secara langsung setiap keduanya akan berangkat ke
kantor. Aku bahkan mengirim surat-surat kepada kakek nenek yang sudah meninggal
dunia.
Hingga duduk di bangku SMP, aku tetap senang menulis
surat. Hanya saja karena merasa sudah bukan jamannya, aku menyimpan surat-suratku
dalam buku harian. Jadilah buku kecil berkunci gembok itu penuh dengan curhatan abege
berformat surat.
Kebiasaan menulis buku harian berformat surat itu
berlanjut hingga aku SMA. Rahasiaku ini kusimpan rapat-rapat. Terutama dari
adik laki-lakiku yang jahil luar biasa.
Kebiasaan aneh menulis surat-surat tak terkirim itu
sudah tak pernah lagi aku lakukan semenjak kuliah. Tugas dan kegiatan
organisasi yang menyita waktu membuatku tak sempat menulis surat-surat yang
tidak jelas. Digantikan oleh kesibukan menulis laporan, review jurnal, proposal, dan hal-hal
yang lebih penting lainnya.
Namun hari ini, aku menemukan sehelai kertas kusut
di dasar laci meja belajar yang sedang kurapikan. Kertas bergambar
kembang-kembang di sisi pojok, berisi tulisan berwarna merah muda.
Bibirku melengkungkan senyum geli. Aku masih ingat
betul, surat itu adalah surat yang kukirimkan untuk sahabatku di masa kecil.
Senyumku melebar setelah membaca tulisan dalam
surat.
Aku menulis tentang bagaimana aku masih
mengingatnya. Aku menulis bahwa kabarku baik-baik saja dan menanyakan kabarnya
serta berharap ia juga baik-baik saja. Aku menulis apa saja. Bahkan aku menulis
tentang menu makan malamku yang baru saja kutelan. Tentang kucingku yang hamil
lagi dan kemudian melahirkan empat ekor anak kucing. Tentang film kartun yang
sedang diputar di televisi. Apa saja. Semuanya.
Mendadak, setelah sekian lama, tiba-tiba aku merasa
ingin menulis surat lagi. Untuk orang yang sama.
Baiklah, ini saatnya memulai ritual menulis surat,
mumpung deadline tugas
belum terlalu mencekik, pikirku.
Aku bergegas mandi, kemudian memposisikan diri
dengan nyaman di meja belajar.
Kali ini aku memilih pulpen bertinta biru
kesayanganku. Pulpen itu bisa membuat lekukan-lekukan huruf yang kugoreskan di
atas kertas menjadi lebih tajam dan indah.
Kata demi kata mulai kutuliskan di atas kertas
bekas asistensi tugas yang tak lagi terpakai. Aku sedang menggalakkan
penghematan kertas, dan alasan itu tentu saja menjadi salah satu isi suratku. Tak
lupa, aku bertanya bagaimana kabarnya, kuliah di mana ia sekarang, dan apakah
ia sudah makan malam. Aku tak bisa bercerita soal makan malamku, karena aku
sedang dalam program pengurangan berat badan, dan betapa itu membuat aku stress
dan gampang uring-uringan. Aku menceritakan apa saja padanya. Semuanya.
Tanpa terasa, satu halaman folio sudah penuh dengan
tulisanku yag kecil-kecil dan berjarak rapat. Aku melipat kertas bekas yang di
dalamnya sudah tercetak baris-baris rapi tulisanku. Memasukkannya ke dalam
amplop beserta beberapa sabun kertas warna warni supaya suratku berbau harum
dan segar.
Aku menyelipkan suratku di bawah bantal. Ya ampun,
bahkan sampai umur segini aku masih percaya bahwa ada pos mimpi untuk
surat-surat yang kuletakkan di bawah bantal. Yang bisa terkirim langsung ke
benaknya dengan selamat. ”
Tak sampai sepuluh menit, ia sudah terlelap.
Sesosok makhluk kecil mengintip dari balik jendela.
Bersayap dan keperakan, ia mendekat ke bawah bantal dengan hati-hati. Terbang
berputar, surat di bawah bantal bersinar sebentar. Lalu padam.
Di suatu tempat, seorang laki-laki bermimpi. Dalam
mimpinya ia membaca sepucuk surat yang dikirimkan sahabatnya di masa kecil. Ia merasa
pernah mengalami kejadian serupa sebelumnya, tapi entah kapan.
Ketika terbangun keesokan harinya, ia sudah lupa
sama sekali akan mimpinya. Namun, dapat dipastikan ia akan merasa tidak asing
dengan sesosok gadis yang berpapasan dengannya di perpustakaan. Gadis itu
memiliki bau harum yang sama, dengan sabun kertas yang ia temukan di bawah
bantalnya pagi tadi.
Langganan:
Postingan (Atom)