Selasa, 13 September 2016

Surat di Bawah Bantal (2)



“Setelah sekian lama, tiba-tiba aku merasa ingin menulis surat lagi.

Dulu sekali, aku sering menulis banyak surat untuk banyak orang. Aku mulai menulis surat semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar. Kala itu, semua murid diminta menulis surat yang dilayangkan kepada wali kelas kami. Penulisan surat untuk wali kelas itu menjadi awal mula karirku sebagai penulis surat ulung. Aku tak pernah bosan menulis surat dari waktu ke waktu.

Aku saling berkirim surat dengan beberapa sahabat, dengan kertas bergambar tokoh-tokoh kartun di tepinya. Aku mengirim surat untuk orang tuaku, yang kuberikan secara langsung setiap keduanya akan berangkat ke kantor. Aku bahkan mengirim surat-surat kepada kakek nenek yang sudah meninggal dunia.

Hingga duduk di bangku SMP, aku tetap senang menulis surat. Hanya saja karena merasa sudah bukan jamannya, aku menyimpan surat-suratku dalam buku harian. Jadilah buku kecil berkunci gembok itu penuh dengan curhatan abege berformat surat.

Kebiasaan menulis buku harian berformat surat itu berlanjut hingga aku SMA. Rahasiaku ini kusimpan rapat-rapat. Terutama dari adik laki-lakiku yang jahil luar biasa.

Kebiasaan aneh menulis surat-surat tak terkirim itu sudah tak pernah lagi aku lakukan semenjak kuliah. Tugas dan kegiatan organisasi yang menyita waktu membuatku tak sempat menulis surat-surat yang tidak jelas. Digantikan oleh kesibukan menulis laporan, review jurnal, proposal, dan hal-hal yang lebih penting lainnya.

Namun hari ini, aku menemukan sehelai kertas kusut di dasar laci meja belajar yang sedang kurapikan. Kertas bergambar kembang-kembang di sisi pojok, berisi tulisan berwarna merah muda.

Bibirku melengkungkan senyum geli. Aku masih ingat betul, surat itu adalah surat yang kukirimkan untuk sahabatku di masa kecil.

Senyumku melebar setelah membaca tulisan dalam surat.

Aku menulis tentang bagaimana aku masih mengingatnya. Aku menulis bahwa kabarku baik-baik saja dan menanyakan kabarnya serta berharap ia juga baik-baik saja. Aku menulis apa saja. Bahkan aku menulis tentang menu makan malamku yang baru saja kutelan. Tentang kucingku yang hamil lagi dan kemudian melahirkan empat ekor anak kucing. Tentang film kartun yang sedang diputar di televisi. Apa saja. Semuanya.

Mendadak, setelah sekian lama, tiba-tiba aku merasa ingin menulis surat lagi. Untuk orang yang sama.

Baiklah, ini saatnya memulai ritual menulis surat, mumpung deadline tugas belum terlalu mencekik, pikirku.

Aku bergegas mandi, kemudian memposisikan diri dengan nyaman di meja belajar.

Kali ini aku memilih pulpen bertinta biru kesayanganku. Pulpen itu bisa membuat lekukan-lekukan huruf yang kugoreskan di atas kertas menjadi lebih tajam dan indah.

Kata demi kata mulai kutuliskan di atas kertas bekas asistensi tugas yang tak lagi terpakai. Aku sedang menggalakkan penghematan kertas, dan alasan itu tentu saja menjadi salah satu isi suratku. Tak lupa, aku bertanya bagaimana kabarnya, kuliah di mana ia sekarang, dan apakah ia sudah makan malam. Aku tak bisa bercerita soal makan malamku, karena aku sedang dalam program pengurangan berat badan, dan betapa itu membuat aku stress dan gampang uring-uringan. Aku menceritakan apa saja padanya. Semuanya.

Tanpa terasa, satu halaman folio sudah penuh dengan tulisanku yag kecil-kecil dan berjarak rapat. Aku melipat kertas bekas yang di dalamnya sudah tercetak baris-baris rapi tulisanku. Memasukkannya ke dalam amplop beserta beberapa sabun kertas warna warni supaya suratku berbau harum dan segar.

Aku menyelipkan suratku di bawah bantal. Ya ampun, bahkan sampai umur segini aku masih percaya bahwa ada pos mimpi untuk surat-surat yang kuletakkan di bawah bantal. Yang bisa terkirim langsung ke benaknya dengan selamat. ”

Tak sampai sepuluh menit, ia sudah terlelap.

Sesosok makhluk kecil mengintip dari balik jendela. Bersayap dan keperakan, ia mendekat ke bawah bantal dengan hati-hati. Terbang berputar, surat di bawah bantal bersinar sebentar. Lalu padam.

Di suatu tempat, seorang laki-laki bermimpi. Dalam mimpinya ia membaca sepucuk surat yang dikirimkan sahabatnya di masa kecil. Ia merasa pernah mengalami kejadian serupa sebelumnya, tapi entah kapan.

Ketika terbangun keesokan harinya, ia sudah lupa sama sekali akan mimpinya. Namun, dapat dipastikan ia akan merasa tidak asing dengan sesosok gadis yang berpapasan dengannya di perpustakaan. Gadis itu memiliki bau harum yang sama, dengan sabun kertas yang ia temukan di bawah bantalnya pagi tadi. 


Cerita sebelumnya bisa dibaca di :  Surat di Bawah Bantal




-any riaya-