Senin, 30 Juli 2012

Untuk Kamu

Aku tidak tahu harus menulis apa untuk kalimat pembuka. Karena hai atau halo saja terasa ganjil. Kita sudah saling mengenal dan kita bukan teman lama yang kebetulan bertemu. Jadi, yah, kita lewati saja bagian ini.

Aku menulis karena tidak bisa mengatakannya langsung di depanmu. Aku memang banyak bicara, tapi di saat saat penting, seringkali lidahku menolak bekerjasama. Seperti waktu itu, ketika gelombang-gelombang mendatangimu. Tidak besar, tapi memualkan. Kamu terus menerus bicara, tentang betapa 'ruwet'nya dia. Betapa kamu sudah lelah.

Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tahu bagaimana rasanya menjadi kamu, hanya saja aku bukan kamu. Aku ingin mengatakan sekalimat, atau dua, yang bisa membuatmu sedikit terhibur. Hanya saja selalu gagal. Ujungnya aku hanya bisa menutup mulut rapat-rapat. Sesekali mengangguk. Inginnya memeluk, tapi mana mungkin.

Aku yakin kamu tahu alasan aku hanya diam. Ucapanku tidak perlu, yang penting adalah indra pendengaranku menangkap setiap huruf yang mengalir darimu. Kedua telingaku. Seandainya ada sepuluh telinga, maka kesepuluh-sepuluhnya akan berfungsi penuh untuh keluh kesah milikmu.

Aku tidak bisa memberi nasehat, karena aku belum pernah tahu rasanya jadi kamu. Aku cuma bisa mendengar. Dan sesekali mengangguk.

Aku harap itu membantu.

Rabu, 25 Juli 2012

QOTD

"Seindah apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?

Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu."
Spasi, dalam Filosofi Kopi oleh Dee.

Memang ya, segala sesuatu yang keterlaluan itu nggak baik.

Senin, 23 Juli 2012

Tokoh

Tersebutlah sebentuk manusia. Ia duduk di bangku penonton. Ia berada di tengah2. Ia ingin duduk di bangku terdepan, sebenarnya. Ia ingin melihat panggung sandiwara dengan jelas, terang dan tak terhalang.
Apa daya ia hanya punya tiket untuk duduk di tempatnya saat ini. Tiket terdepan harganya mahal, ia tidak sanggup. Melebihi kemampuannya.
Kemudian ia melihat ada celah antara bangku terdepan. Ia segera maju. Ia hendak mengambil tempat. Untunglah ternyata ada satu tempat tersisa. Hanya saja kotor, namun tak terhirau olehnya.
Ia selalu menonton sandiwara dengan antusiasme yg tinggi. Ia berusaha mengikuti jalan cerita bahkan berusaha mendalami setiap karakter dari tokoh-tokohnya.
Hingga suatu hari, sebuah keinginan terbit dari sudut hatinya. Ia tak lagi ingin menjadi penonton. Ia tak mau dianggap sekedar. Ia ingin, lebih dari apapun, Ia ingin berada di atas panggung. Bayangkan, Ia ingin dilihat dari perspektif yang sama sekali berbeda. Keinginan yang terlalu muluk. Tak ada yang menghiraukannya. Bahkan tidak mencela. Harusnya Ia menyadari, takdirnya adalah menjadi penonton, bukan ditonton.
Karena iba, aku menjadikannya tokoh dalam tulisan ini. Ia mungkin sekedar penonton, tapi setidaknya kalian jadi mengenalnya kan?