Senin, 15 Juli 2013

Teruntuk Nanda

HALOOO NAN!
Akhirnya sahabat pena jadi-jadianku nambah lagi. Yeee. Tepuk Tangaaan. *tepuk tangan*

Makasih suratnya ya, Nan. Tapi kenapa kamu cuma bikin satu surat buat Aku, Alga, sama Maria sekaligus sih? Kamu pikir surat bisa dibagi, gitu? Hati aja nggak bisa dibagi apalagi surat, Nan. Ihikhikhikhik.

Aku turut berduka ya atas kesendirianmu seharian itu. Etapi bukannya kamu udah biasa sendiri, ya? Aku turut menyesal bacanya. Aku nggak tega. Aku ngerasa, kisah yang kamu ceritain di suratmu itu terlalu menyedihkan dan memilukan. Aku nggak sanggup. Ihikhikhikhik.

Seharusnya waktu kamu ditinggal keluargamu, kamu undang temen-temen TKmu aja. Terus kalian bebas deh party-party, mumpung rumah lagi kosong. Ihikhikhikhik. Seru, kan? Kapan-kapan kalo kamu di rumah sendirian lagi, bikin kayak gitu aja. Jangan lupa ajak aku ya, terutama kalo ada temen TKmu yang kece, yang kira-kira cocok bersanding sama aku gitu lah. Ihikhikhikhik.

Jadinya, Papa Mamamu jadi nonton nggak? Romantis ya orangtuamu masih suka nonton bareng padahal anaknya aja belum ada temen nonton. Aku nanti juga pengen ah, tetep romantis sampe tua. Ihikhikhikhik.
Terus kamu udah nonton Pasific Rim belum? Kalo belum buruan, Nan. Jangan nonton FTV terus. Ihikhikhikhikhik.

Mungkin ini dulu ya surat dari aku.
Jangan lupa dibales, ya. Jangan lupa juga buat mengabaikan setiap 'Ihikhikhikhik' yang aku tulis. Ihikhikhikhik.

Kthxbai itu artinya 'Kethex Bai'. Ihikhikhikhik.
Smell your own kethex and bai,

Any Riaya Nikita, wanita berprinsip, umur...ah pokoknya lebih muda daripada kamu lah. Ihikhikhikhik. :)

Teruntuk Maria (4)

Hai Mar apa kabar, tanpa terasa ternyata aku sudah masuk ke tahap 'Teruntuk Maria' bagian keempat. Hebat! :')

Kali ini aku berusaha bales suratmu secepat mungkin jadi kamu nggak sempet galau gara-gara nungguin surat dari aku. Lebih baik kamu menggalaukan ke-single-anmu saja daripada menggalaukan balasan suratku. Halah.

Eniwei, lewat tulisan ini aku mau menyampaikan banyaaaaak terimakasih atas bantuanmu.
Jadi hari itu, aku lagi sibuk banget Mar. Aku sibuk ngerapihin folder-folder di laptopku. Terus mendadak aku kaget, FOLDER PWK PUNYAKU DARI SEMESTER SATU SAMPE SEMESTER EMPAT ILANG. Lenyap tanpa bekas.
Aku kaget banget. Kaget banget. Banget.
Biar kamu makin percaya, tak ulangi sekali lagi.
Aku kaget banget. Kaget banget. Banget.
Nah.
Akhirnya, karena sebel sekaligus bingung sekaligus putus asa dan karena pada dasarnya aku memang anaknya cengeng, aku nangis. Nangisin cowok aja nggak pernah, ini nangisin folder. Jadi kesimpulannya, folder data kuliah itu lebih berharga ketimbang cowok. #ikiopo

Kemudian namamu muncul di kepalaku gitu Mar. Bunyinya "ting!" gitu.

Terus aku whatsapp kamu terus kamu bilang ke aku buat nginstall software recover my files terus kamu bahkan ngasih link download dropboxnya via twitter.

Sungguh mulia hatimu, Mar..
Terimakasih, Mar..
Jutaan bahkan milyaran liter sayur oyong dan sayur lodeh takkan cukup membalasnya, Mar.. :')

Karena kamu Rabu besok mau ke Surabaya, ayo kita bicarakan hal yang nggak jadi kita bicarakan di Taman Sulfat ya. Mudah-mudahan nggak keterusan jadi rumpik ala tante arisan. Pffftttt.


Sampai jumpa Hari Rabu!

Any Riaya Nikitah Hasiholan, calon istrinya Rio Dewanto.

Esai Jaman SMA (2)

Aku cinta Indonesia. Sebaris kalimat ini tentu sangat mudah saya ucapkan. Saya sudah belajar bicara sejak balita. Apalagi sekedar saya baca. Apa sulitnya? Toh saya sudah belajar membaca sejak taman kanak-kanak. Menuliskannya? Tentu saja mudah, untuk masuk sekolah dasar saja perlu tes menulis. Jika saya tidak mampu menulis kalimat itu, tidak mungkin saya bisa melanjutkan sampai ke sekolah menengah atas, bukan?

Aku cinta Indonesia. Kalimat biasa, dengan subjek, predikat, dan objek. Standar sepeti kalimat lain tentang cinta. Lalu, apa masalahnya? Masalahnya, kalimat mengandung makna yang begitu kompleks dan berat. Jika saya mengatakan cinta pada suatu hal, saya harus benar-benar cinta pada hal itu. Nah, sekarang muncul pertanyaan besar di kepala saya. Apakah saya benar-benar mencintai Indonesia? Sudah cintakah saya pada tumpah darah saya ini?

Aku cinta Indonesia. Tentu saja tak mudah dikatakan belakangan ini. Di saat begitu banyak hal berbau luar negeri di sekitar saya. Kemanapun saya melangkahkan kaki, brand-brand luar bertebaran di sekeliling saya. Ke manapun mata memandang, hamper selalu saya menangkap merek luar ini. Di tas teman sekelas , sepatu tim basket sekolah , parfum ibu, pakaian remaja yang saya temui di pusat perbelanjaan, juga barang-barang saya sendiri. Ketika saya lapar dan ingin makan di luar, restoran yang saya kunjungi pun bukan milik orang Indonesia. Pantaskah saya mengucapkan kalimat “Aku cinta Indonesia”?

Ah, Aku cinta Indonesia mungkin tidak berarti apapun bagi saya. Saya tidak hafal lagu-lagu daerah nusantara. Jangankan hafal, daerah asal lagunya pun banyak yang saya tidak tahu. Injit Injit Semut,O Ina Ni Keke, atau Burung Tantina, saya tak pernah dengar lagu itu. Hanya judulnya saja yang pernah saya baca di buku IPS SD. Alih-alih lagu dalam negeri, playlist pemutar musik saya isinya lagu-lagu barat dan korea. Beberapa memang ada yang lagu pop Indonesia, namun jarang sekali saya dengarkan. Jika saya tak paham musik negeri sendiri, apakah etis saya memenuhi memori handphone saya dengan lagu-lagu luar?

Aku cinta Indonesia. Saya tidak mau kalimat indah ini sekedar enak dibaca. Saya tidak ingin kalimat sarat arti ini hanya tertulis dalam spanduk atau banner di perempatan jalan. Saya enggan membayangkan kalimat ini jadi kalimat kosong, hanya slogan acara komersial. Tidak. Saya harus melakukan sesuatu, paling tidak, mulai dari diri sendiri.

Aku cinta Indonesia. “Aku kan cinta produk dalam negeri!” betapa bangganya saya ketika akhirnya saya bisa mengucapkannya di depan salah seorang teman saya. Mengapa? Pasalnya, saat itu saya sedang mengenakan sepatu baru. Sepatu baru yang berbeda. Biasanya, saya memakai produk keluaran luar. Tapi hari itu, yang saya pakai adalah sepatu kulit magetan. Buatan anak negeri. Modelnya cukup menarik, dan yang paling penting buat saya adalah kualitasnya tidak kalah bagus. Awet sekali. Memang, saya baru mulai dari sepatu, namun segala sesuatu butuh proses kan? Saya harap, saya bisa mulai perubahan dalam bidang yang lain. Dari hal yang kecil menuju besar, saya rasa itu tidak terlalu sulit jika sudah terbiasa nantinya.

Aku cinta Indonesia tidak melulu soal politik. Juga bukan sekedar pendidikan kewarganegaraan.

Aku cinta Indonesia. Mungkin nasionalisme saya belum sebanding dengan pahlawan-pahlawan di masa lalu yang rela mengorbankan nyawa demi bangsa kita. Setidaknya, ada secercah rasa bangga di hati saya pada negara kepulauan yang saya tinggali sejak lahir ini. Saya jatuh cinta pada Indonesia karena makanan khasnya, karena pakaian daerahnya, karena batiknya, karena budayanya yang beragam, juga karena tanahnya yang gemah ripah loh jinawi. Wah, saya rasa, mulai saat ini saya bisa mengucapkan “Aku cinta Indonesia” dengan lantang dan bangga!


Nah, ini esai lain saya jaman SMA. Lagi-lagi esainya dibuat untuk ikut lomba, tapi sayang sekali esai ini nggak menang. Yang menang temen saya satu sekolah juga sih. Terus dibacain kan esai punya dia, buset ternyata jauh banget sama punya saya. Bagusan dia sih pastinya :))

Esai Jaman SMA

Berbeda. Apa arti berbeda? Berbeda itu tidak sama. Tidak seragam. Tidak persis. Tak serupa. Tak sebentuk. Tidak sepaham. Tidak sealiran. Benarkah arti berbeda hanya itu? Saya ingin tahu, apa arti perbedaan.

Saya tinggal di perumahan yang notabene penghuninya adalah orang-oranng keturunan Cina dan umumnya umat Kristiani. Saya sendiri terlahir di keluarga Jawa tulen dan beragama Islam. Betapa senangnya saya, karena tinggal di lingkungan yang nyaman dan ramah. Tetangga saya –yang rata-rata berkulit putih dan bermata sipit itu- sangat friendly dan welcome. Tak pernah ada yang namanya cek cok antar ras, agama, dan lain-lain. Bahkan, setiap lebaran tiba, keluarga saya selalu dapat paket istimewa berupa cookies atau cake. Nyam nyam. Dari sini saya tahu, berbeda artinya tinggal di lingkungan yang ramah dan menyenangkan. Saya masih ingin tahu apa arti perbedaan.

Perbedaan adalah hal yang mutlak. Kita semua berbeda. Perbedaan itulah yang membuat kita spesial. Istimewa. Bukan berarti karena setiap orang spesial maka tak ada yang spesial, tentunya. Tiap orang punya titik-titik spesial yang berbeda. Dari hal tersebut saya menyadari bahwa perbedaan itu nyata, dan indah. Hm, apa arti perbedaan?

Ketika saya tengok sekeliling, saya berpikir, apakah semuanya berasal dari suku yang sama? Apakah semuanya beragama sama dengan saya? Tidak. Alangkah bosannya kalau semua orang sama. Hambar. Saya heran, mengapa masih saja terjadi perang antar suku atau ras? Bukankah menjalin hubungan baik bersama perbedaan akan lebih nikmat? Sulitkah menjalin persahabatan di tengah jurang perbedaan? Sama sekali tidak. Saya punya banyak sekali teman yang tidak sesuku atau seagama dengan saya. Bahkan, salah satu teman dekat saya memiliki keyakinan yang berbeda. Lantas, apakah saya merasa perbedaan menghalangi saya dalam bersosialisasi? Lagi-lagi jawabannya adalah tidak. Saya mendapatkan satu lagi definisi perbedaan, yaitu memiliki banyak teman. Benarkah itu arti perbedaan?

Beberapa teman kerap menggoda saya karena cara bicara saya. Ya, terbiasa hidup di keluarga yang ‘sangat Jawa’ membuat lidah saya lekat dengan ‘ke-Jawaan’. Teman-teman mengatakan, saya medhok Jawa. Malah, beberapa seringkali menirukan cara bicara saya setelah saya mengeluarkan sebaris kalimat. Malukah saya? Tidak. Saya justru bangga. Saya lahir dan tinggal di Jawa kok, buat apa saya malu? Lagipula, toh karena medhok saya itulah teman-teman mengenal dan mengingat saya. Jadi, buat apa saya malu? Jadi, arti perbedaan adalah sangat bangga pada suku di mana saya dilahirkan tanpa negative thinking akan apapun. Tapi saya masih ragu, sebenarnya apa itu perbedaan?

Perbedaan itu misteri yang menantang kita untuk memecahkannya. Dari balik dinding ketidakseragaman, kita dapat mengintip ribuan, bahkan jutaan rahasia yang disembunyikan kehidupan. Melalui satu kata perbedaan, berkembanglah banyak cabang permasalahan yang nantinya memancing ranting-ranting penyelesaian.

Apa itu perbedaan? Saya masih belum tahu. Artinya, definisinya, serta aplikasinya sangat luas. Luas sekali sampai saya tak mampu memahami semuanya. Yang saya yakin hanya satu hal, hidup ditengah perbedaan itu asyik!


Itu adalah salah satu esai yang saya bikin buat lomba jaman SMA dulu. Kalo dipikir-pikir saya udah mau masuk tahun ketiga kuliah ya. Cepet banget. Nggak kerasa. Udah tua, Nik, eling...

Jumat, 12 Juli 2013

Introspeksi

“Segala puji bagi Allah karena atas nikmat-Nya kita bisa bertemu kembali dengan Bulan Ramadhan dan berkumpul bersama pada kesempatan kali ini.”
Hampir semua imam tarawih pasti mulai ceramah dengan kalimat itu. Tadinya saya mendengarkan sambil lalu, bahkan kadang-kadang sambil ngantuk kalo seharian banyak kegiatan dan nggak tidur siang.

Tapi hari ini lain.

Hari ini saya baru sadar bahwa kalimat di atas bukan sekedar kalimat pembuka.

Semua ini bermula sejak saya membuka mata setelah balik tidur setelah sholat shubuh. Seperti sudah kebiasaan, begitu bangun saya langsung megang hape dan ngecek ada notifikasi apa saja. Nah. Di sinilah masalah muncul. Trackpad hape saya tiba-tiba macet, susah digerakin ke atas-bawah apalagi kanan-kiri. Padahal waktu sahur masih bisa dipake walaupun kondisinya emang udah menyedihkan, ngelupas di sana sini.

Karena bete, saya jadi uring-uringan. Sepagian. Sampe siang. Nyuci baju, sambil cemberut. Ngerapiin piring sambil cemberut juga. Buang sampah juga cemberut. Pas liat kaca, saya makin cemberut soalnya bete liat muka sendiri yang cemberut melulu.

Rencananya siang ini, saya mau ke Plaza Marina bareng Bakna (sepupu saya) buat nyoba benerin hape. Tapi begitu kemageran saya mulai surut buat berangkat, Mama tiba-tiba bilang,

“Ayo Ki, anterin Mama niliki suaminya Tante Naning.”

Tante Naning ini adalah salah satu temen Mama yang udah familiar banget buat saya karena sejak saya kecil, beliau suka main ke rumah, nginep, dan (yang paling penting) suka bawain makanan.
Saya mendadak males banget. Tapi nggak mungkin nolak karena takut dikutuk jadi batu. Semales malesnya, saya nggak berani mbantah.
Akhirnya dengan ogah-ogahan saya ganti baju dan ngeluarin motor. Selama di jalan, kalo Mama ngajak ngomong saya cuma jawab pake anggukan atau gelengan kepala. Jahat, ya? Iya.

Saya masih kesel begitu sampe di parkiran motor. Tetep bete dan diem aja.

Mama ngajak saya nunggu di depan UGD. Katanya, nanti Tante Naning bakal jemput soalnya jalan ke kamar suaminya dirawat agak susah dicari.

“Nah! Itu lho Tante Naning!”

Seiring seruan Mama, saya menoleh dan liat perempuan yang sudah saya kenal. Tante Naning pake celana training olahraga sama kaos dan kerudung. Warnanya nggak matching. Sangat kontras sama mama saya yang bajunya jauh lebih rapi.

Saya jalan ngikuti langkah Mama dan Tante Naning yang cepet banget.

Saya tetap diem aja sampai masuk ke kamar tempat suaminya Tante Naning dirawat. Kamarnya kecil. Lebih kecil daripada kamar tidur saya dan harus diisi dua orang pasien. Secara otomatis saya membandingkan kamarnya Papa saya waktu opname di Batam.

Waktu itu saya sempat sambat dalam hati gara-gara sofa yang ada di sana ukurannya pendek, jadi mau nggak mau kaki saya harus nekuk atau kewer-kewer pas tidur. Sedangkan Tante Naning tidur pake karpet di bawah, dan kakinya harus masuk kolong tempat tidur biar cukup. Kamar papa saya juga dilengkapi kamar mandi dalam, TV, dispenser, bahkan penunggu pasien juga dapet jatah makan. Lagipula, Papa meskipun sendi-sendi kaki sama tangannya bengkak, masih bisa jalan sendiri ke toilet. Gitu lo bisa-bisanya saya masih sambat dalam hati. Saya malu. Banget. Banget. Banget.

Kebetean saya mendadak lenyap tanpa bekas.

Saya merhatiin setiap kalimat yang dikeluarkan Tante Naning dan suaminya sambil tetap diem, tapi kali ini alasannya beda.
Saya merhatiin cerita tentang kronologis kecelakaan yang mereka alami.
Saya merhatiin gimana Tante Naning ngurusin suaminya yang bahkan nggak bisa bangun buat ke toilet jadi buang air (kecil atau besar) pun di atas tempat tidur.
Saya terutama merhatiin bahwa di sela-sela obrolan tentang cobaan ini, mereka masih bercanda.

Kemudian saya mendadak nggak peduli sama warna training, kaos, dan kerudungnya yang nggak matching. Saya malah terharu bayangin gimana setelah kecelakaan itu, dengan kaki yang juga bengkak (meskipun gak separah suaminya yang tulangnya pecah), Tante Naning naikin motornya sendiri ngikutin mobil yang bawa suaminya ke rumah sakit. Saya juga terharu pas tau kalo Tante Naning enggak jijik ngurusin kotoran suaminya, bahkan megang langsung pake tangan.

Saya pengen nangis. Tapi malu. Jadi setiap agak berkaca-kaca, saya mengalihkan perhatian dengan mainin plastik di pinggir tempat tidur.

Di perjalanan pulang, saya menanggapi dengan antusias setiap Mama ngajak ngomong.
Saya nggak sebel pas Mama ngajak mampir masuk gang sempit buat beli pentol bakso yang mau dimasak buat buka puasa.
Saya bahkan nggak ngeluh sama sekali pas Mama mampir beli gorengan di pinggir jalan yang lagi macet banget.
Saya berbuka puasa dengan lahap meskipun cuma pake mi instan sama pentol plus telur rebus dikasih sambel.
Saya nggak ngeluh sama sekali meskipun imam sholat tarawih hari ini bacaan sholatnya agak panjang.
Hari ini saya bener-bener dibuat banyak mikir soal nikmat yang sering saya lupakan.

Di salah satu buku karya Ken Terate yang saya punya, ada kalimat “Kamu akan berhenti mengeluh tidak punya sepatu ketika kamu melihat orang yang tidak punya kaki.”

Benar. Sungguh benar.

Semoga Tante Naning dan suaminya Diberi kemudahan dan ketabahan. Amin.

Kamis, 11 Juli 2013

Teruntuk Maria (3)

Maria La Del Barioso!
Mar maapin yah aku baru bales sekarang. Soalnya aku sibuk banget. Sibuk nganggur, sibuk mager, dan tetep, sibuk cari calon suami biar kamu bisa nepati janji buat dateng ke nikahanku #ihikhikhik

Kamu ternyata mageran juga, ya. Masa sit up diitungin shinee masih mager aja? FANS MACAM APA KAMU, HAH??? JAWAAAAB!!! TEPUK PUNGGUNG SAHABATMUUU!!!
Maaf. Itu tadi adalah skenario ESQ yang terketik secara otomatis.

Info terkini, pelatihan jurnalistik tingkat dasar dipegang BEM FTSP taun ini. Tapi kepengurusan selanjutnya harus di tingkat HMJ. Jadi kita rasa-rasanya nggak bisa ngundang Big Bang buat jadi bintang tamu di PJTD. Yaudahlah nggkpapa, biarlah para personel Big Bang jadi bintang di hatiku aja. Agak menjijikkan dan terlalu cheesy tapi biarin ya. Yang penting bukan cheesy notes. *uhuk* *maafkan aku, Alga*

Eniwei, kemarin kita sungguh kayak sinetron ya. Hanya terpisah jarak beberapa jengkal tapi nggak bisa ketemu :(
Jelas jelas aku lagi nginep di rumah temen tanteku yang sekomplek sama rumahmu, eh kitanya malah gagal ketemuan. Aku malah ketemuan sama satpam yang jaga pos di depan gang.

Kamu kapan ke surabaya? Ada beberapa persoalan sayur oyong yang harus kita omongin segera. Surat ini sampai di sini dulu ya.

Sampai jumpa,
Any Riaya. Bukan ani-nya Rhoma Irama.

Teruntuk Alga (3)

Halo, Ga.
Kamu tau nggak aku bales suratmu lama kenapa? Sebenernya aku balesnya lama itu biar kamu penasaran. Biasalah cewek, sukanya tarik ulur. Kemaren aku bales cepet, sekarang bales lama. Gitu ya, Ga? Jadi tolong nikahin maafin aku ya.

Ngomong-ngomong soal integra, meskipun itu isu yang udah nggak hangat lagi (karena integra bukanlah tahi ayam), apapun hasilnya marilah kita abaikan aja ya. Seperti kata pepatah, yang lalu biarlah berlalu. Hal yang sama berlaku buat mantan ya, Ga. Apa? Kamu belum punya mantan? Sabar ya...

Oiya, kamu masih sibuk ngisi liburan sambil bikin kerajinan nggak? Bikinin aku dong. Yang keren gitu, yang kira-kira sesuai sama kepribadianku yang menarik ini. Rodok karepe dewe ya, udah nggak ngasih rumput sisa maket, malah minta dibikinin kerajinan. Mihihi.
Aku liburan ini sih ya biasalah, cuci baju. Sama ke kampus kadang-kadang. Kalo boleh cerita dikit, kapan hari aku ke kampus dan ada temenku yang motornya kekunci di perpus. Bisa nebak nggak temenku itu namanya siapa? Kalo bisa nebak, itu artinya IQmu di atas rata-rata :')

Sekilas info aja, Ghoik keterima di SMP 19. Deket ITS. Aku sejujurnya seneng dia keterima, tapi agak kepikiran juga soalnya pasti aku yang disuruh anter jemputin dia. Nasib.

Kamu udah di Solo ya sekarang? Selamat puasa di kampung halaman! Jangan mokel lho kalo puasa. Nanti dosa.

Nggak usah bagi-bagi perangko, Ga. Biar antimainstream lebih baik kamu bagi-bagi sayur oyong ke fakir miskin yang membutuhkan. Sekian dan terima rumah, mobil, serta perhiasan.

Salam, Nikita atau Mbechi, wanita 20 tahun yang cantik, anggun, dan mempesona.