Senin, 15 Juli 2013

Esai Jaman SMA (2)

Aku cinta Indonesia. Sebaris kalimat ini tentu sangat mudah saya ucapkan. Saya sudah belajar bicara sejak balita. Apalagi sekedar saya baca. Apa sulitnya? Toh saya sudah belajar membaca sejak taman kanak-kanak. Menuliskannya? Tentu saja mudah, untuk masuk sekolah dasar saja perlu tes menulis. Jika saya tidak mampu menulis kalimat itu, tidak mungkin saya bisa melanjutkan sampai ke sekolah menengah atas, bukan?

Aku cinta Indonesia. Kalimat biasa, dengan subjek, predikat, dan objek. Standar sepeti kalimat lain tentang cinta. Lalu, apa masalahnya? Masalahnya, kalimat mengandung makna yang begitu kompleks dan berat. Jika saya mengatakan cinta pada suatu hal, saya harus benar-benar cinta pada hal itu. Nah, sekarang muncul pertanyaan besar di kepala saya. Apakah saya benar-benar mencintai Indonesia? Sudah cintakah saya pada tumpah darah saya ini?

Aku cinta Indonesia. Tentu saja tak mudah dikatakan belakangan ini. Di saat begitu banyak hal berbau luar negeri di sekitar saya. Kemanapun saya melangkahkan kaki, brand-brand luar bertebaran di sekeliling saya. Ke manapun mata memandang, hamper selalu saya menangkap merek luar ini. Di tas teman sekelas , sepatu tim basket sekolah , parfum ibu, pakaian remaja yang saya temui di pusat perbelanjaan, juga barang-barang saya sendiri. Ketika saya lapar dan ingin makan di luar, restoran yang saya kunjungi pun bukan milik orang Indonesia. Pantaskah saya mengucapkan kalimat “Aku cinta Indonesia”?

Ah, Aku cinta Indonesia mungkin tidak berarti apapun bagi saya. Saya tidak hafal lagu-lagu daerah nusantara. Jangankan hafal, daerah asal lagunya pun banyak yang saya tidak tahu. Injit Injit Semut,O Ina Ni Keke, atau Burung Tantina, saya tak pernah dengar lagu itu. Hanya judulnya saja yang pernah saya baca di buku IPS SD. Alih-alih lagu dalam negeri, playlist pemutar musik saya isinya lagu-lagu barat dan korea. Beberapa memang ada yang lagu pop Indonesia, namun jarang sekali saya dengarkan. Jika saya tak paham musik negeri sendiri, apakah etis saya memenuhi memori handphone saya dengan lagu-lagu luar?

Aku cinta Indonesia. Saya tidak mau kalimat indah ini sekedar enak dibaca. Saya tidak ingin kalimat sarat arti ini hanya tertulis dalam spanduk atau banner di perempatan jalan. Saya enggan membayangkan kalimat ini jadi kalimat kosong, hanya slogan acara komersial. Tidak. Saya harus melakukan sesuatu, paling tidak, mulai dari diri sendiri.

Aku cinta Indonesia. “Aku kan cinta produk dalam negeri!” betapa bangganya saya ketika akhirnya saya bisa mengucapkannya di depan salah seorang teman saya. Mengapa? Pasalnya, saat itu saya sedang mengenakan sepatu baru. Sepatu baru yang berbeda. Biasanya, saya memakai produk keluaran luar. Tapi hari itu, yang saya pakai adalah sepatu kulit magetan. Buatan anak negeri. Modelnya cukup menarik, dan yang paling penting buat saya adalah kualitasnya tidak kalah bagus. Awet sekali. Memang, saya baru mulai dari sepatu, namun segala sesuatu butuh proses kan? Saya harap, saya bisa mulai perubahan dalam bidang yang lain. Dari hal yang kecil menuju besar, saya rasa itu tidak terlalu sulit jika sudah terbiasa nantinya.

Aku cinta Indonesia tidak melulu soal politik. Juga bukan sekedar pendidikan kewarganegaraan.

Aku cinta Indonesia. Mungkin nasionalisme saya belum sebanding dengan pahlawan-pahlawan di masa lalu yang rela mengorbankan nyawa demi bangsa kita. Setidaknya, ada secercah rasa bangga di hati saya pada negara kepulauan yang saya tinggali sejak lahir ini. Saya jatuh cinta pada Indonesia karena makanan khasnya, karena pakaian daerahnya, karena batiknya, karena budayanya yang beragam, juga karena tanahnya yang gemah ripah loh jinawi. Wah, saya rasa, mulai saat ini saya bisa mengucapkan “Aku cinta Indonesia” dengan lantang dan bangga!


Nah, ini esai lain saya jaman SMA. Lagi-lagi esainya dibuat untuk ikut lomba, tapi sayang sekali esai ini nggak menang. Yang menang temen saya satu sekolah juga sih. Terus dibacain kan esai punya dia, buset ternyata jauh banget sama punya saya. Bagusan dia sih pastinya :))

Tidak ada komentar: